• Jelajahi

    Copyright © Suara Banten Post
    Best Viral Premium Blogger Templates

    Iklan

    Ini Penjelasan Kombes Dr Dedy Tabrani: Program Deradikalisasi Belum Dijalankan Sesuai UU Terorisme

    SUARA BANTEN POST
    Jumat, 02 Agustus 2024, 08.35 WIB Last Updated 2024-08-02T01:35:53Z
    masukkan script iklan disini
    masukkan script iklan disini



    Jakarta  Suarabantenpost.com  Program deradikalisasi yang belum dijalankan sesuai Undang-undang Terorisme di Indonesia, sehingga menjadi persoalan dalam mewujudkan keamanan dalam negeri.


    Hal ini dipaparkan Kombes Dr Dedy Tabrani dalam focus group discussion (FGD) Aktualiasasi Diri Peserta Didik Sespimti ke-33 di Hotel Cosmo Amarossa, Cipete, Jakarta Selatan, Senin, 29 Juli 2024.


    “Program deradikalisasi tidak dijalankan secara integratif dan berkesinambungan,” kata Dedy Tabrani.


    Dedy Tabrani yang menulis Naskah Strategis Perorangan (Nastrap) sebagai tugas akhir peserta didik Sespimti ke-33 menyampaikan data bahwa sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 sampai 2022 berdasarkan putusan pengadilan, dari 427 perkara terorisme, 25 di antaranya adalah penjahat kambuhan atau residivis.


    Menurutnya program deradikalisasi ada punya kolaborasi antarlembaga pemerintah yang berkelanjutan dan integratif seperti Badan Nasionalisme Penanggulangan Terorisme BNPT), Densus 88 Aanti Teror, kejaksaan, dan lembaga pemasyarakatan.


    “Dibutuhkan peraturan teknis sebagai modul acuan program deradikalisasi secara integratif dan berkelanjutan antara.”




    Irjen Edi Hartono selaku pembimbing penulisan Nastrap Dedy Tabrani menyampaikan, deradikalisasi harus dilaksanakan secara sistematis, terpadu, dan berkesinambungan. 


    Menurutnya, masalah umum yang sering muncul adalah kurangnya koordinasi antara petugas lembaga pemasyarakatan yang mengurus narapidana.


    Sedangkan Dr Muh. Syauqillah dari Universitas Indonesia menyampaikan beberapa masukan berkait penelitian Nastrap dari Dedy Tabrani.


    Menurutnya, BNPT harus ada di tingkat strategis. Tidak boleh operasional.


    Perlunya pendekatan budaya atau kearifan lokal, misalnya memakai musik daerah untuk mereduksi paham radikalisme. 


    “Kita gunakan kesenian daerah untuk mengembalikan narapidana ke akar budaya masing-masing,” katanya.



    Dan yang terakhir adalah pentingnya profesionalitas maupun passion atau hasrat yang kuat.


    Sedangkan Dr Solahudin dari Universitas Indonesia menyampaikan pandangan serupa dengan oleh Syauqillah. 


    Menurut Solahudin, Undang-Undang Terorisme adalah sudah kuat dan memperluas pemidanaan, tetapi undang-undang yang kuat tadi justru memperluas kesempatan munculnya residivisme. 


    Oleh karena itu, ia mengatakan, BNPT harus ada di tingkat strategis atau koordinasi, sehingga criminal justice system dilaksanakan oleh aparat penegak hukum, bukan oleh BNPT. 


    Hal ini, katanya, adalah penting supaya tidak tercipta tumpeng tindih mengingat fokus kerja masing-masing adalah berbeda.


    Dit Idensos Densus 88 Anti Teror Polri menyampaikan beberapa poin tentang terorisme. 



    Mereka menjalankan prinsip Jawa bahwa witing tresno jalaran soko kulino atau pendekatan personal secara terus-menerus dalam membina narapidana maupun eks narapidana terorisme.


    Densus 88 Anti Teror Polri juga membuat kesinambungan transfer kegiatan dari petugas Densus 88 ke petugas lembaga pemasyarakatan. Lalu, dari petugas lembaga pemasyarakatan kembali ke petugas Idensos Densus 88 Anti Teror. 


    “Ini untuk menunjukkan bahwa negara benar-benar hadir dalam proses deradikalisasi.”


    Eks narapidana terorisme, Ust Sofyan Tsauri menyampaikan, program deradikalisasi tidak gagal meskipun ada kasus penjahat kambuhan.


    “Banyak juga yang berhasil,” katanya.(RED)

    Komentar

    Tampilkan

    Terkini

    Sosial

    +