PANDEGLANG Suarabantenpost.com Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Banten melakukan Sosialisasi mengenai pentingnya menjaga kesehatan jiwa. Hal itu diketahui saat kegiatan sosialisasi Desa Siaga Sehat Jiwa (DSSJ) di Kantor Kecamatan Cadasari, Kabupaten Pandeglang.
Hadir sebagai nara sumber dalam sosialisasi tersebut, dari PDSKJI dr.Tri Aniswati ,Sp.KJ serta dari Persatuan Psikologi Banten, Sake Pramuwisakti,S.Psi. Serta dihadiri oleh Pj keswa Dinkes Kab Pandeglang,Kepala Puskesmas Cadasari,Camat Cadasari dan jajaran, Danramil (Babinsa)Cadasari dan jajaran,Polsek (Babinkamtibnas)Cadasari,Para ketua RW,Ketua RT wilayah cadasari,Kader kesehatan,dan perwakilan warga.
Terungkap dalam sosialisasi itu, bahwa ternyata kesehatan jiwa sangat penting dalam mencapai tujuan hidup berbangsa dan bernegara.
Menurut Tri Aniswati, Issue gangguan jiwa menjadi suatu keprihatinan di Indonesia, termasuk di Provinsi Banten. Dia menyebut, Indonesia merupakan negara yang memiliki peringkat terendah dalam hal penyediaan layanan kesehatan jiwa di dunia. Penderita gangguan jiwa berat (schizofrenia) sering mengalami kekerasan dan pemasungan.
Hal itu terjadi kata Tri, karena ketidakmampuan untuk mengenali gangguan mental sebagai penyakit yang juga berhak untuk mendapatkan pelayanan dan perhatian yang sama seperti penyakit lainnya.
Disebutkannya, berdasarkan hasil riset kesehatan dasar tahun 2013, di Provinsi Banten prevalensi gangguan mental emosional berupa depresi dan cemas pada masyarakat berumur diatas 15 tahun mencapai 6,0 persen. Atau sekitar 732.189 orang mengalami masalah kejiwaan.
Prevalensi gangguan jiwa berat/skizofrenia sebesar sebesar 0,11 persen atau sekitar 13.423 orang mengalami gangguan jiwa. Serta ODGJ yang mengalami pemasungan sebesar 14,3 persen atau sekitar 1.919 kasus ODGJ yang dipasung. “Umumnya penderita gangguan jiwa lebih banyak dialami oleh mereka yang berpendidikan rendah, hidup dalam kondisi ekonomi dan sosial yang rendah,” tuturnya.
Keadaan ini lanjut Tri, menunjukan bahwa masyarakat hidup dalam kondisi emosi dan kondisi kejiwaan yang bermasalah. Dia juga menyebutkan bahwa penderita gangguan jiwa di indonesia seringkali menjadi korban ketidakadilan dan perlakuan yang semena-mena oleh masyarakat. “Diantaranya tindak kekerasan dan penelantaran,” tegasnya.
Di tempat yang sama, Sake Pramuwisakti,S.Psi dari Persatuan Psikologi Banten mengatakan, bahwa terdapat berbagai macam alasan yang menjadi latar belakang mengapa masalah kesehatan jiiwa masih sering termarginalkan.
Menurut Sake, hal tersebut terjadi karena kurangnya pemahaman tentang masalah kesehatan jiwa. Selain itu ada pandangan yang salah, dan deskriminasi terhadap seseorang yang mengalami gangguan jiwa. “Yang lebih parah stigma tersebut, ternyata tidak hanya bersumber dari masyarakat saja, namun juga dari para penyedia layanan kesehatan dan pengambil kebijakan dibidang kesehatan,” katanya.
Sake menyebutkan, bukti lainnya tentang kasus penanganan yang salah adalah pemasungan, hingga tindak kekerasan terhadap orang dengan gangguan jiwa. Menurut data dari kabupaten/kota di Provinsi Banten terdapat sekitar 91 kasus orang dengan gangguan jiwa sudah ditangani di tahun 2015.
Dari 68 rumah sakit yang ada di Provinsi Banten, hanya 23 rumah sakit, atau 33,8 persen saja yang memiliki pelayanan poliklinik jiwa. Meskipun di tatanan puskesmas sudah disiapkan layanan kesehatan jiwa namun hal tersebut belum dapat menjangkau semua wilayah.
Komitmen Pemerintah melalui Peraturan Gubernur Banten No 83 tahun 2017 tentang Gerakan Banten Bebas Pasung ,menjadi dasar untuk mewujudkan cita-cita masyarakat Provinsi Banten akan adanya sebuah rumah sakit jiwa sehingga pasien pasca rujuk dari RSJ bisa dirawat dengan baik hingga benar-benar sembuh. (Adv )